PEMBAHASAN
TENTANG : PPN (PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI)
DOSEN
PEMBIMBING : BP.
NURYADIN
DISUSUN
OLEH :
Ø YUNI MARYANTI :
111 419 0371
Ø IKI ANUGRAHING GUSTI : 111 419 0281
Ø VIRLY :
111 419 0179
Ø RIRIS :
111 419 0186
Ø M. ZULFIKAR : 111 419 0207
Ø FAISAL IKRAM : 111 419 0210
Ø SEPTIAN DWI PURWANTO : 111 417 0005
Ø M. FAJAR ADITYA : 111 419
0134
Universitas Persada
Indonesia YAI
Fakultas Ekonomi
2013
PENDAHULUAN
Pajak
merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh
masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan
pengeluaran negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian
bangsa untuk mencapai cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak
pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada
negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut
membuat pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali
pajak dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak
harus dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap penerimaan pajak, baik dengan usaha intensifikasi maupun
ekstensifikasi pajak.
Dalam
pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui
adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak
disesuaikan dengan jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak.
Biasanya apa yang mnejadi dasar pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak
material. Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar
pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai
ekspor, atau nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar menghitung pajak
terutang.
Pemungutan
pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang
dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum
pajak di Indonesia.
Pengadaan
dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan
nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar
negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar
negeri.
Dalam peningkatan dana dalam
negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan
bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya
akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk
mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya
faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan,
menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas
penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal
sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang
berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak
pelaksanaan sistem perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment”
yakni pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung
sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank
persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam
bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
PEMBAHASAN
Pengertian BKP dan JKP
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
Inggris,
PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis
pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen
sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan
pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual
produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem
tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang
digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu
Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.
Barang Kena Pajak ( Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
-
|
Semua barang pada
prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang
ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri.
|
-
|
Barang Kena Pajak
tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan
barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).
|
-
|
Yang diatur secara rinci
oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif
list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
|
-
|
Dengan demikian, secara
otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
|
1. Jenis-Jenis Barang Tidak
Kena Pajak (Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a.
|
Barang hasil
pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
( minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih
emas, dsb).
|
b.
|
Barang-barang kebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu,
kedelai, dan garam baik beriodium maupun tidak beriodium).
|
c.
|
Makanan dan minuman yang disajikan
di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di
tempat maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering).
|
d.
|
Uang, emas batangan, dan
surat-surat berharga.
|
2. Penyerahan BKP ( Pasal 1A
angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
a.
|
Penyerahan hak atas
Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian (antara lain jual beli, tukar
menukar, jual beli dengan angsuran).
|
b.
|
Pengalihan Barang Kena
Pajak karena suatu Perjanjian Sewa Beli dan Perjanjian Leasing (Capital Lease
atau Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi).Yang terutang PPN adalah penyerahan
barangnya, sedangkan penyerahan jasanya (jasa pembiayaan) tidak terutang PPN.
|
c.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak kepada Pedagang Perantara dan Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru
lelang.
|
d.
|
Pemakaian sendiri dan
pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
|
e.
|
Persediaan Barang Kena
Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan. (Khusus atas aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN Masukan
yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan).
|
f.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang (perwakilan/kantor pemasaran) atau
sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Kantor Cabang (dalam hal
berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda)
|
g.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak secara konsinyasi.
|
3. Bukan Penyerahan BKP/Tidak
dikenakan PPN (Pasal 1A angka 2 Undang-Undang
Nomor
18 Tahun 2000) :
a.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Namun demikian, jasa makelar merupakan Jasa Kena Pajak.
|
b.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak untuk jaminan utang piutang.
|
c.
|
Penyerahan Barang Kena
Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang atau sebaliknya dan antar Kantor
Cabang, dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau
berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak.
(lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang)
|
Tatacara Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai
yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean, paling
lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Ketentuan pengisian Surat
Setoran Pajak (SSP) :
1. pada kolom “Nama WP” dan
“Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean yang menyerahkan BKPTW/JKP ke
dalam Daerah Pabean,
2. pada kolom “NPWP” diisi
dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode
Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP, dan
3. pada kotak “Wajib
Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP.
Tatacara Pelaporan
Bagi Pengusaha Kena Pajak,
PPN atas pemanfaatan BKPTW atau JKP yang telah disetor dilaporkan dalam SPT
Masa PPN bulan terutangnya pajak. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai
laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
Orang pribadi atau badan
yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP
yang telah disetor dengan mempergunakan lembar ketiga SSP ke Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya
pajak.
Sanksi
Orang pribadi atau badan
yang melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai setelah melewati batas waktu
di atas dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
Mulai Berlaku
Sejak 1 April 2010,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 ini mulai berlaku dan
menggantikan atau mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 568/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
KARAKTERISTIK PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI
Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Obyektif
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula
kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun
subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN,
selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam
daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat
inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak adil.
Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang
digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi
oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi.
Mekanisme
Pengkreditan
Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa
PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan
Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow,
sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak
Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang
pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa
pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan
menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau
Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan
menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash
Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan
menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama
dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
FAKTUR PAJAK STANDAR CACAT
Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha
kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena
pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan
oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak
ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau
penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak
masukan.
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur pajak standar:
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur pajak standar:
1. Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisisan data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri
faktur pajak yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan
penulisan nama pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2. Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau
barus yang ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk
diisi oleh pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
Pengisian tidak lengkap dapat berupa:
• Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
• Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
• “jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
• Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak
dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan
bagian bawah sebelah kiri.
• Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
• Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
• Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor
KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan
pada faktur pajak.
3. Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
5. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak (PKP) berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai
PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh
pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak masukan yang
tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima
JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan
faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang
yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah
pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak,
dan/atau bukti setoran pajak.
Barang
tidak kena PPN
§ Barang hasil pertambangan
atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
§ Barang-barang kebutuhan
pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
§ Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih
dalam bentuk:
1. Beras berkulit (padi atau
gabah) selain untuk benih.
2. Gilingan.
3. Beras setengah giling atau
digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4. Beras pecah.
5. Menir (groats)
beras.
§ Segala jenis jagung putih,
jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
1. Jagung yang telah dikupas
maupun belum.
2. Jagung tongkol dan biji
jagung atau jagung pipilan.
3. Menir (groats) atau
beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
§ Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih,
kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
1. Garam meja.
§ Makanan dan minuman yang disajikan
di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan
minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan
minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
Jasa
tidak kena PPN
§ Jasa di bidang pelayanan
kesehatan, meliputi:
§ Jasa di bidang pelayanan
sosial, meliputi:
3. Jasa pemberian pertolongan
pada kecelakaan.
4. Jasa lembaga rehabilitasi,
kecuali yang bersifat komersial.
7. Jasa pelayanan sosial
lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
1. Jasa perbankan, kecuali
jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa
penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian),
serta anjak
piutang.
3. Jasa sewa guna usaha dengan
hak opsi.
§ Jasa di bidang keagamaan,
meliputi:
3. Jasa lainnya di bidang
keagamaan.
§ Jasa di bidang pendidikan,
meliputi:
1. Jasa penyelenggaraan
pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesi.
§ Jasa di bidang kesenian dan
hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian
yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.
§ Jasa di bidang penyiaran
yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh
instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai
oleh sponsor yang bertujuan komersial.
§ Jasa di bidang angkutan
umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun
sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
1. Jasa tenaga kerja.
2. Jasa penyediaan tenaga
kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas
hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan
pelatihan bagi tenaga kerja.
§ Jasa di bidang perhotelan,
meliputi:
1. Jasa persewaan kamar
termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan
untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen,
dan hostel.
§ Jasa yang disediakan oleh
pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi
jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti
pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP),
dan pembuatan Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
UU PPN 1984 tidak pernah
menentukan bahwa eksportir BKP adalah PKP
Apabila dicermati ternyata
sejak mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985, UU PPN 1984 tidak pernah memberi
status PKP kepada eksportir BKP. Tentang hal ini tersurat dan tersirat dalam:
a. Pasal 1 angka 15
(sebelumnya adalah Pasal 1 huruf l), yang merumuskan status PKP itu hanya
dimiliki oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, maka
pengusaha yang tidak menyerahkan BKP atau JKP tetapi melakukan ekspor BKP atau
ekspor JKP tidak memiliki status sebagai PKP.
Apabila ada eksportir yang
dikukuhkan sebagai PKP, kriteria yang menjadi tolok ukur bukan kegiatan ekspor
tersebut melainkan kegiatan lain yang dilakukan oleh eksportir ini misalnya
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Contoh: PT Arta
Belanga mengelola sebuah pabrik biskuit. Produk perusahaan ini sebagian besar
untuk dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya diekspor. PT Arta Belanga
diwajibkan untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, karena
kegiatan usaha atau pekerjaannya adalah menyerahkan produk berupa biskuit yang
merupakan BKP, bukan karena mengekspor BKP. Ketika mengekspor BKP, PT Arta
Belanga sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka atas ekspor ini dikenai PPN.
a. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU
Nomor 8 Tahun 1983 yang menentukan bahwa bagi pengusaha yang melakukan ekspor
BKP juga melakukan penyerahan BKP kepada PKP dapat memilih untuk dikukuhkan
menjadi PKP. Secara a contrario, apabila ada pengusaha mengekspor BKP tetapi
tidak pernah melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean, maka
pengusaha ini bukan PKP meskipun boleh memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Mengapa begitu ?
Sebelum 1 Januari 1995,
pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP dikenal dengan sebutan
PMPKP. PMPKP ini bukan PKP dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memiliki
karakteristik PPN yang mewajibkan PKP memungut PPN atas penyerahan BKP atau JKP
kepada siapapun. Sedangkan PMPKP hanya mengenakan PPN apabila menyerahkan BKP
kepada PKP lain. Dalam hal pengusaha yang ter-golong PMPKP menyerahkan BKP
kepada non PKP, tidak boleh memungut PPN.
Contoh: PT Eksporta
melakukan ekspor BKP yang diperoleh dari para pemasok (supplier). Perusahaan
ini tidak pernah menjual BKP tersebut kepada pembeli di dalam negeri. PT
Eksporta bukan PKP. Beberapa bulan berikutnya, disebabkan BKP yang diterima
dari para pemasok melebihi kuantum BKP untuk diekspor, maka sebagian dijual di
dalam Daerah Pabean. Dalam kondisi yang seperti ini PT Eksporta diperbolehkan
memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP supaya dapat memungut PPN ketika
menyerahkan BKP kepada PKP.
c. Memori penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf f berbunyi sebagai berikut: “Berbeda dengan Pengusaha
yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c,
maka Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang
telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1).”
Formula memori penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf f ini tidak mencapai sasaran. (Lagi-lagi penulis
menimbang-nimbang unsur etika. Sungguh tidak etis apabila penulis menyebutkan
“menyesatkan”, lebih etis kiranya menggunakan kalimat “tidak mencapai
sasaran”). Dari formula memori penjelasan tersebut menimbulkan kesan bahwa yang
boleh melakukan ekspor BKP hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP.
Sebaliknya apabila suatu pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha
ini dilarang mengekspor BKP. Padahal, UU PPN tidak memiliki kompetensi melarang
Pengusaha yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP.
Formula Pasal 4 ayat (1)
huruf f yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas ekspor BKP yang dilakukan oleh
PKP, mengandung makna bah-wa dalam hal kegiatan ekspor BKP dilakukan oleh
eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP, maka tidak dikenai PPN.
Makna ini tersirat dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f diawali dengan kalimat: “Berbeda dengan
Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau
huruf c …..”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf c
mengisyaratkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau penyerahan JKP baik
oleh Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya sudah
dikukuhkan namun ternyata belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dirumuskan secara berbeda dengan Pasal 4 ayat
(1) huruf a dan huruf c, maka ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f membawa
konsekuensi, apabila eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan
ekspor BKP, maka atas ekspor ini tidak dikenai PPN. Sebagai konsekuensinya,
pengusaha ini tidak dapat mengkreditkan seluruh Pajak Masukannya sehingga tidak
memperoleh kenikmatan berupa hak untuk mengajukan permintaan pengembalian kelebihan
Pajak Masukannya. Analisis ini berlaku juga bagi pengusaha yang melakukan
ekspor sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf g, dan huruf h.
Kewajiban di bidang PPN
bagi pengusaha yang semata-mata melakukan ekspor BKP atau ekspor JKP.
Apabila disimak lebih
cermat ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPN 1984 sebelum 1 Januari 1995
dengan perumusan yang lebih akurat dalam Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 15
UU PPN 1984 sejak 1 Januari 1995 dapat dipahami bahwa Pengusaha yang melakukan
kegiatan ekspor BKP dapat dipilah menjadi 3 macam variasi kegiatan usaha,
yaitu:
1) Pabrikan selaku
eksportir, yaitu pabrikan yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean,
juga melakukan ekspor BKP yang merupakan hasil produksinya.
2) Pedagang Besar
selaku eksportir, yaitu pedagang besar yang selain menyerahkan BKP di
dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor barang dagangannya yang merupakan
BKP.
3) Pengusaha yang
kegiatannya semata-mata melakukan ekspor BKP.
Bagi pabrikan yang
memproduksi BKP, produk ini selain diekspor juga diserahkan di dalam
Daerah Pabean, dan Pedagang Besar yang selain mengekspor barang dagangannya
yang merupakan BKP juga menyerahkannya di dalam Daerah Pabean, wajib
melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai
PKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, kewajiban ini timbul
bukan karena melakukan ekspor BKP, melainkan lebih disebabkan dari kegiatannya
menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean. Karena sudah dikukuhkan sebagai PKP
maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN 1984 atas kegiatan ekspor
BKP-nya dikenai PPN, sehingga dalam surat pengukuhan PKP-nya, jenis
usahanya meliputi “eksportir dan industri BKP”, atau “eksportir dan
Pedagang Besar BKP”.
Sedangkan bagi Pengusaha
yang kegiatan usahanya semata-mata mengekspor BKP, sehingga sama sekali tidak
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP di dalam Daerah
Pabean, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, tidak berstatus sebagai
PKP maka seharusnya tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Meskipun demikian, bagi pengusaha ini diberi hak untuk
memilih dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana sudah pernah diatur dalam Pasal 3
ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983.
Karena Pasal 1 angka 15
tidak menentukan bahwa pengusaha yang melakukan ekspor BKP Berwujud atau Tidak
Berwujud atau JKP adalah PKP, sehingga secara logika yuridis Pengusaha ini
tidak dapat dibebani kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP, maka pencantuman “Pasal 4 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h”
dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 seharusnya gugur demi hukum.
MEKANISME PEMUNGUTAN PPN
1. Secara umum PPN yang
terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dengan
demikian, pembeli BKP/JKP yang bersangkutan wajib membayar kepada PKP Penjual
sebesar harga jual ditambah PPN yang terutang (10%).
2. Dalam hal harga jual atau
penggantian telah termasuk PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan BKP/JKP
tersebut dihitung dengan formula : 10/110 x harga jual
atau penggantian.
3. Apabila pembeli BKP/JKP
tersebut berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yang terutang atas
transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor
langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN
hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%)
disetor langsung ke kas negara.
· Bendaharawan Pemerintah
baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari APBN/APBD.
· Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara
5. Dalam hal terjadi penyerahan
BKP/JKP antar Pemungut PPN, PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor
dan dilaporkan oleh Pemungut PPN yang melakukan penyerahan BKP/JKP (Penjual),
6. Dalam hal terjadi
penyerahan BKP/JKP oleh Badan-Badan tertentu kepada Bendaharawan Pemerintah/KPKN,
maka PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh
Bendaharawan Pemerintah/KPKN (Pembeli),.
7. Penyerahan BKP/JKP oleh
Instansi Pemerintah yang bertindak sebagai PKP kepada Badan-Badan tertentu, PPN
terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Instansi
Pemerintah (Penjual)
Mekanisme Pemungutan PPN Oleh
Pemungut PPN
(563/KMK.03/2003,
KEP-382/PJ/2002)
Faktur Pajak dan SSP merupakan
bukti pemungutan dan
penyetoran PPN dan/atau PPnBM PemungutanPPN/PPn BM
dilakukan pada saat dilakukannya pembayaran atas BKP/JKP oleh
pemungut PPN, dengan cara memotong langsung dari tagihan PKP
Rekanan.
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan
(faktur/invoice), PKP Rekanan wajib membuat :
1. Faktur
Pajak atas PPN dan PPnBM yang terutang
2. SSP (dengan identitas dan NPWP PKP Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
2. SSP (dengan identitas dan NPWP PKP Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
Faktur Pajak dibuat rangkap 3 :
1. Lembar
1 : untuk Pemungut PPN
2. Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
3. Lembar 3 : untuk KPP melalui Pemungut PPN
2. Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
3. Lembar 3 : untuk KPP melalui Pemungut PPN
Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib
dibubuhi cap "DISETOR TANGGAL :..........." dan ditandatangani oleh
Pemungut PPN yang bersangkutan.
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak
Standar wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
Untuk Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat
rangkap 5 :
1. Lembar
1 : untuk arsip PKP Rekanan
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan
4. Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
5. Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan
4. Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
5. Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
Untuk KPKN, SSP dibuat rangkap 4 :
1. Lembar
1 : untuk arsip PKP Rekanan
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
4. Lembar 4 : untuk Pemungut PPN (KPKN)
Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
4. Lembar 4 : untuk Pemungut PPN (KPKN)
Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
SSP lembar ke-1 dan ke-2
dibubuhkan cap "TELAH DIBUKUKAN"
OBJEK TARIF dan PERHITUNGAN
PPN
Objek PPN
1. Penyerahan BKP/JKP didalam
daerah pabeaan yang dilakukan oleh pengusaha
2. Import BKP
3. Pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
4. Pemanfaatan JKP dari luar
daerah pabean didalam daerah pabean
5. Eksport BKP oleh PKP
Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah
2. Orang
pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar
Daerah Pabean.
Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami dasar perhitungan PPN
(DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung
PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN menerapkan tarif yang
proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan
kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk
asal-usul tarif efektif.
Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh
menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain,
seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas
penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman
Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak
maupun pembayaran
Cara Penghitungan
PPN yang terutang atas
pemanfaatan BKPTW dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara
sebagai berikut:
· 10% dikalikan dengan jumlah
yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan
BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak
termasuk PPN; atau
· 10/110 dikalikan dengan
jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan
BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah
termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan
adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis
akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau
perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung
sebesar 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan
kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
SAAT TERUTANG PPN dan DASAR PENGENAAN PAJAK
Saat dan Tempat Pajak Terutang
Untuk menghitung PPN harus dipahami
pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang
pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1,
sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan
tempat pajak terutang.
Uraian tentang saat terutangnya PPN
meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN
atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari
luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan
tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga
dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.
Saat Terutang
Saat terutangnya PPN atas
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
Saat dimulainya pemanfaatan
BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih
dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
1. saat BKPTW/JKP tersebut
secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
2. saat harga perolehan
BKPTW/JKP tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3. saat harga jual BKPTW
dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4. saat harga perolehan
BKPTW/JKP tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya.
Dalam hal saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung besarnya PPN terutang,
harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat
terutangnya PPN dan tarif PPN.
4. untuk PPN
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari
luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB
atau JKP;
5. untuk PPN
atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman
suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang
tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
Pengertian harga jual pun dipengaruhi
oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang.
Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
1. untuk
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak
termasuk laba kotor;
3. untuk
persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual
adalah harga pasar wajar;
CARA MENGHITUNG PAJAK PPN
Perhitungan PPN dan PPn BM
Rumus : PPN=10/110 + t x
harga penyerahan BKP
PPn BM = t/110 + t x harga penyerahan BKP
t = besar tariff PPn BM
contoh:
1. Dalam
kontrak harga belum termasuk PPN
PKP A, bulan januari 2009,
menjual tunai kepada PKP B sebanyak 100 pasang sepatu merk Nike, dengan harga @
Rp 100.000, belum termasuk PPN, oleh PKP B, pada bulan januari 2009, sepatu
tersebut dijual sebanyak 80 pasang kepada pihak lain dengan harga @ Rp 120.000
sedangkan sebanyak 5 pasang dipakai sendiri. Hitung PPN terutang
PKP B?
Jawab :
PAJAK MASUKAN
DPP = 100 x @ Rp 100.000 = 10.000.000
PPN= 10% x
10.000.000 = 1.000.000
Jumlah
= 11.000.000
PAJAK KELUARAN
DPP = 80 x 120.000
=
Rp 9.600.000
PPN atas penjualan 80
pasang
(10% x
9.600.000)
Rp 960.000
PPN atas pemakai sendiri
DPP = 5 x @ 100.000
(10% x
500.000) Rp
50.000
Jumlahnya
Rp. 1.010.000
Pajak
masukan
= 1.000.000
Pajak
keluaran
= 1.010.000
Jumlah kurang
bayar = 10.000
KESIMPULAN
1. Pajak pertambahan nilai yang lebih
menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi
daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul
pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau
jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian,
pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena
adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh
Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen
tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidka mempengaruhi
persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
2. PPN terutang dibayar ke kas negara
dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/Credit Method/ Invoice
Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN
terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan
mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang
dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola ini dinamakan Indirect
Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang
akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga
dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak
keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang
sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini
juga dinamakan metode faktur.
3. Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan
PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
a. Barang berwujud yang
diserahkan merupakan barang kena pajak.
b. Barang tidak berwujud yang
diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di
dalam daerah pabean.
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Tarif PPN adalah 10% sedangkan
tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0%.
DAFTAR
PUSTAKA
Boediono, B.
(1986). Pajak Pertambahan Nilai Impor. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Rahayu, Siti Kurnia
dan Ely Suhayati. (2010). Perpajakan Teori dan Teknis Perhitungan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siahaan, Marihot
Pahala. (2010). Hukum Pajak Formal Pendaftaran, Pembayaran, Pelaporan,
Penetapan, Penagihan, Penyelesaian Sengketa, dan Tindak Pidana Pajak.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siahaan, Marihot
Pahala. (2010). Hukum Pajak Material Objek, Subjek, Dasar Pengenaan
Pajak, Tarif Pajak, dan Cara Perhitungan Pajak.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
No comments:
Post a Comment