Friday, August 19, 2016

MAKALAH PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

TUGAS KELOMPOK

PERPAJAKAN II



 

















PEMBAHASAN TENTANG                      : PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)
DOSEN PEMBIMBING                              : BP. NURYADIN
DISUSUN OLEH :
Ø  YUNI MARYANTI                          : 111 419 0371
Ø  IKI ANUGRAHING GUSTI          : 111 419 0281
Ø  VIRLY                                               : 111 419 0179
Ø  RIRIS                                                 : 111 419 0186
Ø  M. ZULFIKAR                                 : 111 419 0207
Ø  FAISAL IKRAM                              : 111 419 0210
Ø  SEPTIAN DWI PURWANTO        : 111 417 0005
Ø  M. FAJAR ADITYA                                    : 111 419 0134

Universitas Persada Indonesia YAI
Fakultas Ekonomi
2013
PENDAHULUAN

Pajak merupakan kewajiban kenegaraan yang menunjukan peran seta dari seluruh masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada negara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak. Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal yang mendasar dan harus diketahui adalah dasar pengenaan pajak. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak disesuaikan dengan jenis pajak yang akan ditanggung oleh seorang wajib pajak. Biasanya apa yang mnejadi dasar pengenaan pajak diatur dalam hukum pajak material. Sesuai dengan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang PPN dan PPnBM, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai yang lain yang dipakai sebagai dasar menghitung pajak terutang.
Pemungutan pajak di Indonesia berasal dari kesepakatan rakyat dan pemerintah, yang dituangkan dalam berbagai undang-undang pajak. Hal ini melahirkan adanya hukum pajak di Indonesia.
Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri.
 Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. 
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).










PEMBAHASAN

Pengertian BKP dan JKP
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Barang Kena Pajak ( Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
-
Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri.
-
Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).
-
Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
-
Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
1.                  Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a.
Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dsb).
b.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik beriodium maupun tidak beriodium).
c.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering).
d.
Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
2.                  Penyerahan BKP ( Pasal 1A angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
a.
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian (antara lain jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran).
b.
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu Perjanjian Sewa Beli dan Perjanjian Leasing (Capital Lease atau Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi).Yang terutang PPN adalah penyerahan barangnya, sedangkan penyerahan jasanya (jasa pembiayaan) tidak terutang PPN.
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara dan Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
d.
Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
e.
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan. (Khusus atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN Masukan yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan).
f.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang (perwakilan/kantor pemasaran) atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Kantor Cabang (dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda)
g.
Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
3.               Bukan Penyerahan BKP/Tidak dikenakan PPN (Pasal 1A angka 2 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000) :
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Namun demikian, jasa makelar merupakan Jasa Kena Pajak.
b.
Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang.
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang atau sebaliknya dan antar Kantor Cabang, dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak. (lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang)

Tatacara Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya  pajak.
Ketentuan pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) :

1.    pada kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean yang menyerahkan BKPTW/JKP ke dalam Daerah Pabean,
2.    pada kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP, dan
3.    pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP.

Tatacara Pelaporan
Bagi Pengusaha Kena Pajak, PPN atas pemanfaatan BKPTW atau JKP yang telah disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan terutangnya pajak. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP yang telah disetor dengan mempergunakan lembar ketiga SSP ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

Sanksi
Orang pribadi atau badan yang melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai setelah melewati batas waktu di atas dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Mulai Berlaku
Sejak 1 April 2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 ini mulai berlaku dan menggantikan atau mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Obyektif
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak adil. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi. 

Mekanisme Pengkreditan 

Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow, sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai. 

FAKTUR PAJAK STANDAR CACAT

Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur pajak standar:
1.      Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisisan data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2.      Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian tidak lengkap dapat berupa:
• Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
• “jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
• Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah sebelah kiri.
• Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
• Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada faktur pajak.
3.      Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4.      Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
5.      Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Barang tidak kena PPN

§  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1.     Minyak mentah.
2.     Gas bumi.
3.     Panas bumi.
4.     Pasir dan kerikil.
5.     Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6.     Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
§  Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
§  Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
1.      Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
2.      Gilingan.
3.      Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4.      Beras pecah.
5.      Menir (groats) beras.
§  Segala jenis jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
1.      Jagung yang telah dikupas maupun belum.
2.      Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
3.      Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
§  Sagu, dalam bentuk:
1.      Empulur sagu.
2.      Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
§  Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
§  Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1.      Garam meja.
2.      Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
§  Makanan dan minuman yang disajikan di hotelrestoranrumah makanwarung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.

      Jasa tidak kena PPN

§  Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
1.      Jasa dokter umumdokter spesialis, dan dokter gigi.
2.      Jasa dokter hewan.
3.      Jasa ahli kesehatan, seperti akupunkturfisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
4.      Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5.      Jasa paramedis dan perawat.
§  Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
1.      Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
2.      Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
3.      Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4.      Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
5.      Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6.      Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
7.      Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
§  Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).
§  Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
1.      Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
2.      Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
3.      Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
§  Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
1.      Jasa pelayanan rumah ibadah.
2.      Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3.      Jasa lainnya di bidang keagamaan.
§  Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
1.      Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
2.      Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
§  Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
§  Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
§  Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
§  Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
1.      Jasa tenaga kerja.
2.      Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3.      Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
§  Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
1.      Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapanmotellosmenhostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2.      Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
§  Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

UU PPN 1984 tidak pernah menentukan bahwa eksportir BKP adalah PKP

Apabila dicermati ternyata sejak mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985, UU PPN 1984 tidak pernah memberi status PKP kepada eksportir BKP. Tentang hal ini tersurat dan tersirat dalam:
a. Pasal 1 angka 15 (sebelumnya adalah Pasal 1 huruf l), yang merumuskan status PKP itu hanya dimiliki oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, maka pengusaha yang tidak menyerahkan BKP atau JKP tetapi melakukan ekspor BKP atau ekspor JKP tidak memiliki status sebagai PKP.
Apabila ada eksportir yang dikukuhkan sebagai PKP, kriteria yang menjadi tolok ukur bukan kegiatan ekspor tersebut melainkan kegiatan lain yang dilakukan oleh eksportir ini misalnya melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.

Contoh: PT Arta Belanga mengelola sebuah pabrik biskuit. Produk perusahaan ini sebagian besar untuk dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya diekspor. PT Arta Belanga diwajibkan untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, karena kegiatan usaha atau pekerjaannya adalah menyerahkan produk berupa biskuit yang merupakan BKP, bukan karena mengekspor BKP. Ketika mengekspor BKP, PT Arta Belanga sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka atas ekspor ini dikenai PPN.

a.         Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983 yang menentukan bahwa bagi pengusaha yang melakukan ekspor BKP juga melakukan penyerahan BKP kepada PKP dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Secara a contrario, apabila ada pengusaha mengekspor BKP tetapi tidak pernah melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean, maka pengusaha ini bukan PKP meskipun boleh memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Mengapa begitu ?
Sebelum 1 Januari 1995, pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP dikenal dengan sebutan PMPKP. PMPKP ini bukan PKP dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memiliki karakteristik PPN yang mewajibkan PKP memungut PPN atas penyerahan BKP atau JKP kepada siapapun. Sedangkan PMPKP hanya mengenakan PPN apabila menyerahkan BKP kepada PKP lain. Dalam hal pengusaha yang ter-golong PMPKP menyerahkan BKP kepada non PKP, tidak boleh memungut PPN.

Contoh: PT Eksporta melakukan ekspor BKP yang diperoleh dari para pemasok (supplier). Perusahaan ini tidak pernah menjual BKP tersebut kepada pembeli di dalam negeri. PT Eksporta bukan PKP. Beberapa bulan berikutnya, disebabkan BKP yang diterima dari para pemasok melebihi kuantum BKP untuk diekspor, maka sebagian dijual di dalam Daerah Pabean. Dalam kondisi yang seperti ini PT Eksporta diperbolehkan memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP supaya dapat memungut PPN ketika menyerahkan BKP kepada PKP.

c. Memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f berbunyi sebagai berikut: “Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c, maka Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).”
Formula memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f ini tidak mencapai sasaran. (Lagi-lagi penulis menimbang-nimbang unsur etika. Sungguh tidak etis apabila penulis menyebutkan “menyesatkan”, lebih etis kiranya menggunakan kalimat “tidak mencapai sasaran”). Dari formula memori penjelasan tersebut menimbulkan kesan bahwa yang boleh melakukan ekspor BKP hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Sebaliknya apabila suatu pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha ini dilarang mengekspor BKP. Padahal, UU PPN tidak memiliki kompetensi melarang Pengusaha yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP.

Formula Pasal 4 ayat (1) huruf f yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas ekspor BKP yang dilakukan oleh PKP, mengandung makna bah-wa dalam hal kegiatan ekspor BKP dilakukan oleh eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP, maka tidak dikenai PPN.
Makna ini tersirat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f diawali dengan kalimat: “Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c …..”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf c mengisyaratkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau penyerahan JKP baik oleh Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya sudah dikukuhkan namun ternyata belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dirumuskan secara berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf c, maka ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f membawa konsekuensi, apabila eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP, maka atas ekspor ini tidak dikenai PPN. Sebagai konsekuensinya, pengusaha ini tidak dapat mengkreditkan seluruh Pajak Masukannya sehingga tidak memperoleh kenikmatan berupa hak untuk mengajukan permintaan pengembalian kelebihan Pajak Masukannya. Analisis ini berlaku juga bagi pengusaha yang melakukan ekspor sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf g, dan huruf h.

Kewajiban di bidang PPN bagi pengusaha yang semata-mata melakukan ekspor BKP atau ekspor JKP.

Apabila disimak lebih cermat ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPN 1984 sebelum 1 Januari 1995 dengan perumusan yang lebih akurat dalam Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 sejak 1 Januari 1995 dapat dipahami bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan ekspor BKP dapat dipilah menjadi 3 macam variasi kegiatan usaha, yaitu:
1) Pabrikan selaku eksportir, yaitu pabrikan yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor BKP yang merupakan hasil produksinya.
2) Pedagang Besar selaku eksportir, yaitu pedagang besar yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor barang dagangannya yang merupakan BKP.
3) Pengusaha yang kegiatannya semata-mata melakukan ekspor BKP.
Bagi pabrikan yang memproduksi BKP, produk ini selain diekspor juga diserahkan di dalam Daerah Pabean, dan Pedagang Besar yang selain mengekspor barang dagangannya yang merupakan BKP juga menyerahkannya di dalam Daerah Pabean, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, kewajiban ini timbul bukan karena melakukan ekspor BKP, melainkan lebih disebabkan dari kegiatannya menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean. Karena sudah dikukuhkan sebagai PKP maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN 1984 atas kegiatan ekspor BKP-nya dikenai PPN, sehingga dalam surat pengukuhan PKP-nya, jenis usahanya meliputi “eksportir dan industri BKP”, atau “eksportir dan Pedagang Besar BKP”.
Sedangkan bagi Pengusaha yang kegiatan usahanya semata-mata mengekspor BKP, sehingga sama sekali tidak melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, tidak berstatus sebagai PKP maka seharusnya tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Meskipun demikian, bagi pengusaha ini diberi hak untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana sudah pernah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983.
Karena Pasal 1 angka 15 tidak menentukan bahwa pengusaha yang melakukan ekspor BKP Berwujud atau Tidak Berwujud atau JKP adalah PKP, sehingga secara logika yuridis Pengusaha ini tidak dapat dibebani kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka pencantuman “Pasal 4 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h” dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 seharusnya gugur demi hukum.

MEKANISME PEMUNGUTAN PPN

1.    Secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dengan demikian, pembeli BKP/JKP yang bersangkutan wajib membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN yang terutang (10%).
2.    Dalam hal harga jual atau penggantian telah termasuk PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan BKP/JKP tersebut dihitung dengan formula : 10/110 x harga jual atau penggantian.
3.    Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas negara.
4.    Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari (563/KMK.03/2003) :
·       Bendaharawan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari APBN/APBD.
·       Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
5.    Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP antar Pemungut PPN, PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pemungut PPN yang melakukan penyerahan BKP/JKP (Penjual),
6.    Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP oleh Badan-Badan tertentu kepada Bendaharawan Pemerintah/KPKN, maka PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Pemerintah/KPKN (Pembeli),.
7.    Penyerahan BKP/JKP oleh Instansi Pemerintah yang bertindak sebagai PKP kepada Badan-Badan tertentu, PPN terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Instansi Pemerintah (Penjual)

Mekanisme Pemungutan PPN Oleh Pemungut PPN
(563/KMK.03/2003, KEP-382/PJ/2002)        

Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan/atau PPnBM PemungutanPPN/PPn BM dilakukan pada saat dilakukannya pembayaran atas BKP/JKP oleh pemungut PPN, dengan cara memotong langsung dari tagihan PKP Rekanan. 
        
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan (faktur/invoice), PKP Rekanan wajib membuat :
1.       Faktur Pajak atas PPN dan PPnBM yang terutang
2.       SSP (dengan identitas dan NPWP PKP Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
        
Faktur Pajak dibuat rangkap 3 : 
1.       Lembar 1 : untuk Pemungut PPN
2.       Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
3.       Lembar 3 : untuk KPP melalui Pemungut PPN 

Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi cap "DISETOR TANGGAL :..........." dan ditandatangani oleh Pemungut PPN yang bersangkutan. 
      
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak Standar wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
       
Untuk Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat rangkap 5 : 
1.       Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
2.       Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3.       Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan
4.       Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
5.       Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
        
Untuk KPKN, SSP dibuat rangkap 4 : 
1.       Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
2.       Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3.       Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
4.       Lembar 4 : untuk Pemungut PPN (KPKN)

Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM         
SSP lembar ke-1 dan ke-2 dibubuhkan cap "TELAH DIBUKUKAN" 

OBJEK TARIF dan PERHITUNGAN PPN

Objek PPN
1.      Penyerahan BKP/JKP didalam daerah pabeaan yang dilakukan oleh pengusaha
2.      Import BKP
3.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
4.      Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean
5.      Eksport BKP oleh PKP

Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah
Pengusaha Kena Pajak
1.     Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.
2.    Bentuk Kerja sama Operasi.
Bukan Pengusaha Kena Pajak
1.     Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
2.     Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean.
3.     Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.
4.    Jasa di bidang perhotelan.

Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.

Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran

Cara Penghitungan
PPN yang terutang atas pemanfaatan BKPTW dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut:
·                     10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN; atau
·                     10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.

SAAT TERUTANG PPN dan DASAR PENGENAAN PAJAK
Saat dan Tempat Pajak Terutang

Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.
Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.

Saat Terutang
Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
Saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
1.        saat BKPTW/JKP tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
2.        saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3.        saat harga jual BKPTW dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4.        saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut:
1.     untuk PPN Barang adalah harga jual;
2.     untuk PPN Jasa adalah penggantian;
3.     untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;
4.     untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP;
5.     untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
6.    untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.
Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:
1.     untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor;
2.     untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
3.     untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual adalah harga pasar wajar;
4.    untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.

CARA MENGHITUNG PAJAK PPN

Perhitungan PPN dan PPn BM
Rumus : PPN=10/110 + t x harga penyerahan BKP
               PPn BM = t/110 + t x harga penyerahan BKP
               t = besar tariff PPn BM
contoh:
1.      Dalam kontrak harga belum termasuk PPN
PKP A, bulan januari 2009, menjual tunai kepada PKP B sebanyak 100 pasang sepatu merk Nike, dengan harga @ Rp 100.000, belum termasuk PPN, oleh PKP B, pada bulan januari 2009, sepatu tersebut dijual sebanyak 80 pasang kepada pihak lain dengan harga @ Rp 120.000 sedangkan sebanyak 5 pasang dipakai sendiri. Hitung PPN terutang PKP B?
Jawab :
PAJAK MASUKAN
DPP = 100 x @ Rp 100.000 = 10.000.000
PPN=  10% x 10.000.000     = 1.000.000
Jumlah                                  = 11.000.000
PAJAK KELUARAN
DPP = 80 x 120.000 =                                                                         Rp 9.600.000
PPN atas penjualan 80 pasang
(10% x 9.600.000)                                                                               Rp 960.000
PPN atas pemakai sendiri
DPP = 5 x @ 100.000
(10% x 500.000)                                                                                  Rp 50.000
Jumlahnya                                                                                           Rp. 1.010.000
Pajak masukan                    = 1.000.000
Pajak keluaran                    = 1.010.000
Jumlah kurang bayar         = 10.000





























KESIMPULAN

1.      Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi.  Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidka mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.
2.      PPN terutang dibayar ke kas negara dihitung menggunakan Indirect Substraction Method/Credit MethodInvoice Method.
Pajak yang dipungut PKP tidak otomatis wajib dibayar ke kas negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar ke PKP lain (pajak masukan) dengan PPN yang dipungut dari pembeli (pajak keluaran). Pola ini dinamakan Indirect Substraction Method.
Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibaya ke kas negara dinamakan Tax Credit. Maka pola ini juga dinamakan Credit Method.
Untuk mendeteksi jumlah kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti, dokumen tersebut adalah faktur pajak sehingga metode ini juga dinamakan metode faktur.
3.      Sesuai deng pasal 4 UU PPN dan PPnBM yang menjadi objek pajak pada PPN adalah:
a.       Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak.
b.      Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak tidak berwujud.
c.       Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean.
d.      Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4.      Tarif PPN adalah 10% sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0%.



DAFTAR PUSTAKA

Boediono, B. (1986). Pajak Pertambahan Nilai Impor. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rahayu, Siti Kurnia dan Ely Suhayati. (2010). Perpajakan Teori dan Teknis Perhitungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siahaan, Marihot Pahala. (2010). Hukum Pajak Formal Pendaftaran, Pembayaran, Pelaporan, Penetapan, Penagihan, Penyelesaian Sengketa, dan Tindak Pidana Pajak.   Yogyakarta: Graha Ilmu.
Siahaan, Marihot Pahala. (2010). Hukum Pajak Material Objek, Subjek, Dasar Pengenaan Pajak, Tarif  Pajak, dan Cara Perhitungan Pajak.   Yogyakarta: Graha Ilmu.



No comments: